
Laporan Hari Pertama
Devosi pada Hati Kudus Yesus adalah salah satu kekayaan yang sangat berharga dalam Gereja. Begitu banyak Kongregasi dan yayasan dan amal kasih dalam Gereja mendapatkan inspirasinya dari spiritualitas Hati yang Tertikam ini. Sebagai pengikut Dehon yang bergelar para Imam Hati Kudus Yesus, sudah layak dan pantas kita mendalami devosi ini dan mengusahakan agar lebih banyak orang mendalaminya dengan lebih baik. Dalam kerangka ini, Pusat Studi Dehonian di Rumah Jenderalat SCJ Roma pada 8-9 November 2019 mengadakan konferensi internasional tentang devosi pada Hati Kudus Yesus. Mengusung tema “Ingatan, Tubuh, Gambaran, Teks: Keberlanjutan dan Keterputusan,” konferensi ini dihadiri oleh sekitar 14 orang pembicara dari pelbagai universitas di dunia dan lebih dari 100 orang peserta. Bertempat di Villa Aurelia – Roma, konferensi multi-bahasa ini dibagi dalam beberapa sesi besar.
Pada sesi pertama, Rm. Stefan Tertunte SCJ – direktur Pusat Studi Dehonian – memandu diskusi dengan 3 narasumber utama. Dr. Franziska Metzger dari University of Teacher Education memberi skema umum bagaimana teks (linguistik) dan ikonografi menyimpan narasi “ingatan” akan pengalaman mistik di level individual dan komunal. Narasi akan memori ini memberi bentuk pada devosi Hati Kudus Yesus. Ingatan akan “pengalaman mistik” berhubungan langsung dengan konstruksi ritual dan ragam praktik kesalehan. Pada gilirannya, ritual dan praktik kesalehan ini akan melanjutkan, melebarkan dan menguatkan kembali narasi memori dalam hidup yang nyata. Itu sebabnya kita dapat menemukan gambar Hati Kudus Yesus di banyak bidang kehidupan: mulai dari konteks yang sangat religius hingga adaptasinya dalam pelbagai karya seni kontemporer hingga desain fashion dari merek terkenal Doce Gabbana. Dr. Elke Pahud de Mortanges dari Albert-Ludwigs-University bahkan menunjukkan bagaimana gambaran Hati Kudus Yesus ini juga berhubungan dengan realitas manusia yang memiliki tubuh biologis. Realitas “daging” dari gambar Hati Kudus Yesus ini menjadi kesempatan untuk berefleksi lebih jauh tentang realitas Gereja sebagai tubuh Kristus dan juga tentang identitas anggota Gereja dengan segala unsur seksualitasnya. Menurut hemat saya, kedua pembicara di bagian awal ini memberikan pendekatan metodologis yang sangat penting bagi arah diskusi berikutnya agar devosi Hati Kudus dapat “diterjemahkan” sesuai tempo dan latar belakang masyarakat modern saat ini.
Dr. David Morgan dari Duke University, Antonio Viola dari Podova, dan Dr. Stefan Laube dari Humboldt-University mengolah sisi historis perkembangan devosi Hati Kudus Yesus dari abad XVI hingga abad XIX. Pada awalnya, menurut Dr. Morgan, terdapat bentuk unik dari devosi St. Yohanes Eudes pada kasih keibuan Maria. Awalnya, ikon “Hati Kudus” dilambangkan dengan begitu sederhana: sebuah hati yang bernyala dengan Bunda Maria di dalam gambar hati itu. Baru setelah penampakan pada St. Margareta Maria dan penyebaran devosi ini oleh para Jesuit, gambar “Hati Kudus” itu “dipisahkan” dari devosi pada kasih keibuan Maria. Gambar Hati Kudus Yesus lalu menjadi sangat organik dan dilengkapi dengan lambang-lambang penyaliban: hati yang tertikam, mahkota duri dan salib di atasnya. Dr. Laube menemukan hubungan yang unik antara ikon Hati Kudus Yesus di abad XVII dengan gambaran “tabung kaca” (vial – terj. Inggris). Berangkat dari latar belakang alkemi (ilmu kimia di abad pertengahan yang berusaha mengerti hubungan antar elemen di alam), “tabung kaca” ini menjadi lambang dari penemuan-penemuan “ilmiah.” Bahkan “tabung kaca” dari era Victoria ini menjadi representasi dari “kelahiran manusia” yang diawali dengan kasih dalam hubungan seksual dan aneka tahapnya. Dr. Laube menangkap hubungan “kelahiran kembali” dalam elemen teologis kasih Hati Kudus Yesus: ikon kasih ini memiliki kemiripan dengan ide vial dari abad XVII.
Ada dua hal yang menarik bagi saya pribadi dari hari pertama konferensi internasional ini. Pertama, semua pembicara di hari pertama adalah ilmuwan awam dari pelbagai latar belakang. Ternyata, devosi pada Hati Kudus Yesus bukanlah sesuatu yang “eksklusif” menjadi milik Gereja Katolik atau hanya menjadi milik para religius SCJ saja. Devosi yang sangat populer ini telah menjadi harta dunia dan dapat ditemukan baik dalam sejarah maupun dalam kondisi sini-kini dunia. Kedua, saya juga menyadari bahwa pendekatan teologis dan moral dalam membaca dan menginterpretasikan ikon Hati Kudus Yesus tidaklah cukup. Kita membutuhkan pendekatan antropologis, kultural dan historis untuk benar-benar mengerti akar dan proses bertumbuhnya devosi ini. Hari kedua konferensi ini akan berfokus lebih dalam lagi tentang sisi transformatif devosi Hati Kudus Yesus dari segi kultural.
Albertus Joni s.c.j.
Leave a Reply