Merintis Misi Papua (1)

red: Mengenang P. Henslok SCJ sebagai perintis misi SCJ ke Papua. Tulisan P. Vincen Suparman SCJ dari Florida – USA

Inisiatif untuk membuka karya misi di Tanah Papua diinspirasi oleh Perayaan 75th Kehadiran SCJ di Sumatra. Dalam beberapa assembly dibicarakan tentang keinginan SCJ Indonesia untk membuka karya misi di luar Pulau Sumatra  dan Jawa. Beberapa pulau yang sempat dibicarakan dalam assembly ialah Kalimantan, Timor Leste, dan Papua. Ketiga tiga pulau itu sedang hangat dibicarakan pada tingkat dewan, dr. Joseph Ojong SpJP, Direktur Rumah Sakit Mitra Masyarakat Mimika, yang ketika itu sedang dibangun, datang ke Palembang untuk mencari pastor yang mau berkarya di Papua. Atas perintah Provinsial Superior SCJ, P. Paulus Sugino, SCJ, P. Vincent Suparman, SCJ, Sekretaris Missi waktu itu menemui Doktor Ojong di Biara Charitas Pusat. Inti dari pertemuan kesatu itu SCJ memenuhi permintaan Doktor Ojong untuk mengadakan survey ke Papua. Kemudian survey itu dibagi menjadi tiga:

Survey kesatu

Tiga bulan kemudian tepatnya September 1999, P. Vincent Suparman, SCJ, Prefect Discipline,  di Seminari St. Paulus, diizinkan oleh provincial dan rector seminari, P. Felix Astono, SCJ, terbang ke Jakarta untuk bergabung dengan P. Herbert Henslok, Pastor Paroki St. Antonius, Bidara China. Ticket pulang-pergi untuk kedua calon surveyors semua sudah disiapkan oleh Donny,(agaknya orang kepercayaan P. Henslok untuk banyak urusan di paroki). Singkat cerita, 25 September 1999 malam semua tentang ticket dan bekal seperlunya sudah disiapkan.

Keesokan hari pada pukul 3:00 pagi kedua pastor calon surveyor itu diantar oleh Donny ke Soekarno-Hatta untuk mengejar penerbangan Merpati pada pukul 05:00 pagi. Route tertera pada ticket sangat jelas: Jakarta – Makassar – Timika. Hari itu 26 September pukul 8:00 pagi P. Henslok and P. Suparman mendarat di Makassar. Perjalanan keduanya ke Timika terhambat oleh kerusakan pesawat. Oleh fihak maskapai kedua surveyor itu diinapkan di Hotel Jasmine. Hari itu kira-kira pukul 4:00 sore Dr. Ojong, yang juga mau ke Timika harus menginap di hotel yang sama. Zaman itu tidak semua pastor, termasuk P. Henslok and P. Vincent mempunyai cell phone. Pertmuan dengan Doktor Ojong di Makassar itu benar-benar rencana Tuhan.

Lagi-lagi 27 September, Pastor Henslok, P. Suparman, dan Doktor Ojong pada jam 6:00 pagi sudah berada di airport, Makassar. Kali ini Merpati memakai pesawat type Fokker 28 menuju Ambon yang sedang dilanda perang saudara. Begitu pesawat mendarat airport Ambon, tak lama kemudian pesawat segera diberangkatkan lagi menuju Sorong. Situasi sangat mencekam. Di seluruh bandara Ambon dijaga oleh polisi dan tentara. Di Jeffman airport Sorong ada kesempatan istirahat di ruang tunggu selama 40 menit. Penerbangan belum berakhir. Namun, semua terasa berjalan begitu cepat. Pemandangan antara Sorong dan Timika sangat indah. Hutan rimba masih asli. Pukul 3:00 sore waktu Timika P. Henslok dan P. Suparman serta Dokter Ojong mendarat dengan selamat di Timika.

Fokus dari survey kesatu ini diarahkan pertama-tama pada sebagian besar stasi di dataran rendah di sekitar Timika dan Mapurujaya. Dokter Ojong mengatur dan membiayai semua perjalanan survey. Bahkan ia menunjuk Rudy, sopir andalan, sebagai guide. Sr. Juli, FCh bergabung dalam survey itu dan berperan sebagai penyedia logistic. Survey kesatu ini memakan waktu dua hari penuh. Kedua, Dokter Ojong mengatur penerbangan P. Henslok dan Suparman ke Pegunungan Paniai dengan sasaran beberapa paroki yang memerlukan tenaga imam.

Tanggal 2 Oktober 1999 P. Henslok and P. Suparman mendarat di Frank Rozen Regional Airport, Enarotali. Inilah dua SCJ pertama yang mendarat di pedalaman Papua. Di kota ini untuk pertama kalinya kedua SCJ surveyor itu berjumpa dengan P. John Philip Saklil, Pr – yang kelak menjadi uskup Timika. P. Saklil, Vikep  Wilayah Barat Keuskupan Jayapura itu, terheran-heran dengan kedatangan kedua SCJ. Ia tidak mengundang. Tetapi di depannya dua pastor seakan haus untuk mencari pelayanan di Papua. Ia sama sekali tidak tahu mengapa dua SCJ datang ke kevikepan yang menjadi wilayahnya. Spontanitas dan keramahannya mendoringnya untuk membawa dua SCJ – tamu mendadak – keliling kota Enarotali. Kunjungan ke susteran, sekolah dasar katholik, tempat kursus; semua dilakukan dengan jalan kaki saja, belum ada kendaraan roda dua apalagi speda bermotor.

Bersama Pater Jendral SCJ, P. Carlos Luis SCJ saat mengunjungi Papua 2020

Keesokan harinya, setelah makan siang di Rumah Kevikepan, dua SCJs diundang untuk pergi bersama Pater Vikep ke Epouto. Hari itu 3 Oktober 1999 pukul 4:00 sore P. Saklil dan dua SCJs tiba di Paroki St. Franciscus Assisi, Epouto yang harus ditempuh dengan speedboat dilanjutkan jalan kali selama 45 menit dari Enarotali. Selama perjalanan darat dari Wotai ke Kawasan Misi di tepi Danau Tage aneka tari-tarian gaya Suku Mee tak pernah berhenti. Dedaunan, getah tumbuhan, dan panah-busur menjadi bagian integral dari performance mereka. Lelaki dan perempuan, tua-muda, besar-kecil, semua menari dengan bertelanjang dada. Mereka menyanyi atau berteriak tak jelas arti dan maknanya bagi orang yang baru menginjakkan kaki di area pelosok pegunungan.

Setelah makan malam P. Saklil menginap di bangunan induk. Sedangkan P. Henslok dan P. Suparman dibangunan sayap kearah dapur. Entah karena cuaca dingin atau kelelahan karena berjalan kaki, tiga pastor itu langsung tidur. Terdengar dari gereja yang terletak di belakang pastoran suara umat berlatih nyanyi untuk Pesta Kematian St. Fransiskus Assisi yang juga pelindung Paroki Epouto. Selain aktivitas di gereja, rupanya ada juga akvitas penyembilihan sapi di komplex rumah retreat. Namun, kemudian semua pastor menikmati malam dingin dan tidur nyenyak.

Tanggal 4 Oktober pagi adalah hari yang dinantikan oleh umat paroki. Pada jam 6:00 pagi mereka sudah berjalan lalu-lalang. Lelaki-perempuan, besar-kecil, dan tua-muda semua mengenakan busana adat yang terbuat dari serat kulit kayu. Perempuan mengenakan tutup kebali yang sekaligus berfungsi seperti ‘handbag’. Sedangkan lelaki mengenakan destar yang terbuat dari kulit kayu dan kulit binatang. Tangan-tangan mereka memegang busur dan panah. Prosesi para pastor didahului oleh pasukan berpanah, penari, misdinaar, semua sambil menyanyi menuju gereja yang tak jauh letakknya dari pastoran. Persis jam 9:00 pagi P. Saklil, Vikep tahun itu, membuka pesta pelindung paroki dengan Misa Kudus, didampingi oleh P. Henslok, SCJ and P. Suparman, SCJ. Suasana gegap-gempita, dan umat menyanyi hampir sepanjang misa. Aturan dan susunan liturgis seakan tidak berlaku di paroki itu. Tetapi dengan cara demikian semua umat dapat memainkan perannya dalam liturgy. Selalu ada nilai positifnya.

Misa Kudus berlangsung kira-kira dua jam. Pastor Vikep sepertinya baru merasa puas kalau sudah menyapa umatnya dengan homily panjang. Bukan homily monoton tetapi dibingkai dalam cerita rakyat dan humor di sana-sini. Kedatangan dua SCJs hari itu dilukiskan sebagai malaikan penolong utusan Allah dari sorga oleh Pastor Vikep dalam homilynya. Ia juga mohon agar umat terus berdoa agar suatu hari pastor-pastor scj bersedia melayani umat Epouto. Menjelang pukul 11:00 an lagi-lagi rombongan penari berpanah menanti para pastor pada pintu keluar untuk prosesi penutup. Begitu selesai berkat dan lagu penutup, semua umat keluar dari gereja melalui pintu-pintu yang ada dan berbaur dengan rombongan penari dalam prosesi. Pastor pastor diantar kembali ke pastoran.

Bagi Suku Mee pesta tidak cukup dengan Misa Kudus. Perayaan Misa Kudus harus diikuti oleh pesta makan dengan menu bakar batu. Perjamuan makan bersama diadakan di Rumah Retreat St. Fransiscus hanya sekitar sepanjang lapangan sepak bola jaraknya dari pastoran. Menu khusus untuk para pastor dan dewan paroki serta petugas lainnya disediakan di atas meja di dalam balai pertemuan rumah retreat itu. Sedangkan, umat menikmat sajian menu daging, ubi, labu yang diolah ala bakar batu di rerumputan. Entah berapa hewan, sapi atau babi yang dibakar-batu hari itu.

Sambil menunggu malam kedua pastor SCJs itu berjalan di sekitar komplex misi. Banyak bangunan seperti dapur, rumah retreat, rumah study, dan rumah-rumah guru rusak parah. Setelah berjalan di sekitar komplex misi malam tiba dan keduanya harus menginap satu malam lagi di pastoran Epouto. Udara pegunungan tengah sangat sejuk. Mereka berdua tidur nyenyak tanpa penengaran sedikitpun. Malam itu sungguh gelap-gulita.

Survey kedua – bersambung

2 Komentar

  1. Senang sekali membaca sejarah Misi SCJ di Papua yg saya sdh lupa krn tdk membuat catatan. Nama saya dr. Jozep Ojong SpJP,tdk ada DOKTOR dan tdk ada nama Herman

    • Terima kasih dokter, mohon maaf kurang ketelitian kami. sudah saya ralat juga di arsip SCJ. Terima kasih banyak informasinya dokter. Tuhan memberkati

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*