Sejarah Provinsi SCJ Indonesia

Gereja Tua Tanjung Sakti

Membicarakan Kongregasi SCJ Indonesia tidak bisa dilepaskan dari Gereja Sumatera bagian Selatan. Oleh karenanya, hidup dan berkembangnya kongregasi ini sangat ditentukan oleh hidup dan perkembangan Gereja.

1.Sekilas Sumatera Selatan

Pada awalnya Sumatera Selatan adalah wilayah Gerejani yang meliputi propinsi Jambi, Palembang, Bengkulu dan Lampung. Luas daerahnya kira-kira 187.977 km persegi. Penduduk asli tersebar dalam banyak suku, antara lain Ogan, Komering, Kubu, penduduk asli Lampung dan Palembang. Pada awal abad ini peradaban mereka masih sederhana, dan sebagian hidup sebagai pengembara (nomaden). Penduduk yang lain adalah orang Melayu. Di samping itu banyak terdapat transmigran dari Jawa. Sebelum perang dunia II, mereka tertarik oleh perkebunan-perkebunan dan perusahaan minyak. Masih ada penduduk lain yaitu orang-orang Tionghoa yang sejak semula biasanya menjadi pedagang. Sumatera menjadi daerah misi Jesuit (SJ) sampai tahun 1911. Dan sampai tahun 1923 Sumatera Selatan merupakan bagian Perfektur Apostolik di bawah Ordo Saudara Dina Kapusin (OFM Cap). Mulai tahun 1923, Sumatera Selatan merupakan daerah kegerejaan tersendiri, yang dipercayakan kepada Imam-imam Hati Kudus Yesus (SCJ).

2. Sumatera Selatan Sebagai Daerah Misi SCJ

Misionaris SCJ pertama adalah Pastor H.J.D. van Oort, Pastor K. van Steekelenburg, dan Br. Felix van Langenberg. Pada bulan September 1924 mereka memulai karya mereka di Tanjung Sakti. Pertama-tama mereka menjelajahi seluruh daerah Tanjung Sakti untuk mengetahui keadaannya dan untuk melihat apa yang dapat dan harus dikerjakan.

Beberapa tahun setelah memulai karya misi di Tanjung Sakti, buah-buah dari pewartaan Injil itu pun dirasakan.

Banyak umat yang bergabung dalam paguyuban Gereja Katolik.

 

Tanjung Sakti adalah tunas bagi Gereja Sumatera Selatan. Pada tahun 1925 sudah ada 600 orang Katolik di Tanjung Sakti. Karya para pastor tidak hanya tertuju kepada umat Katolik saja. Oleh karena itu mereka mulai menyadari untuk segera menyelenggarakan sekolah-sekolah. Hal ini tidaklah mudah, karena anak-anak Tanjung Sakti belum menyadari pentingnya belajar. Mereka lebih senang berkeliaran di pasar atau di kebun. Pada tahun 1932 pemerintah mewajibkan anak laki-laki untuk bersekolah. Pada tahun 1932 sekolah ini mempunyai murid kira-kira 200 orang. Satu dari antara pemuda Tanjung Sakti, Antonius Gentiaras, menjadi seminaris di Seminari Menengah Oloan, Sulawesi. Tamat dari Seminari menengah ia bertolak ke Belanda dan bergabung dengan kongregasi Imam-imam Hati Kudus Yesus pada tahun 1936. Tetapi ia terserang radang paru-paru. Ia kembali ke Indonesia dan pada tanggal 10 Januari 1939 ia menutup mata untuk selamanya. SCJ pribumi pertama ini dikebumikan di Kerkop Muntilan.

Gereja Tanjung Sakti masih ada hingga kini. Saksi hidup misi SCJ di Indonesia.

Segala upaya telah ditempuh. Jerih payah para misionaris tidak bisa diukur dengan banyaknya orang yang berkehendak untuk dibaptis. Jumlah orang Katolik tidak menunjukkan pertambahan yang berarti. Bahkan pada saat pendudukan Jepang nanti banyak orang yang sudah dibaptis kembali ke kepercayaan mereka semula. Ini terjadi karena para misionaris Belanda ditawan oleh tentara Jepang.

Para pastor dan bruder telah berhasil menanamkan nilai-nilai Kristen melalui sekolah dan Balai Pengobatan. Pos misi ini tidak pernah dilepaskan. Pengalaman yang diperoleh di daerah ini telah membakar semangat para misionaris untuk memperluas daerah misi di Sumatera Selatan. “Gereja Tanjung Sakti adalah tanda istimewa kehadiran Kristus. Tanjung Sakti merupakan bagian dari rencana Ilahi sehingga dalam keadaan seperti ini masih mampu bertahan. Tanjung Sakti mempunyai arti khusus dalam rencana Tuhan. Gereja sungguh menanggapi kebutuhan masyarakat sehingga mereka akrab dan dekat dengan Gereja. Hal ini paling didukung oleh adanya Balai Pengobatan dan Sekolah Xaverius,” ungkapan reflektif Pastor Johannes van Kampen SCJ. Kehadiran Gereja dan para misionaris di Tanjung Sakti membuat penduduk asli mengenal agama. Masyarakat tidak merasa asing dengan Gereja dan segala kegiatannya. Hingga saat ini masyarakat merasa memerlukan Gereja dan pastor hadir di antara mereka. “Di sini ada Camat, ada kepala Polisi, ada tentara. Tetapi jika tidak ada pastor dan Gereja, saya merasa masyarakat tidak utuh,” ungkap seorang Tanjung Sakti.

 

3. Perkembangan Karya Misi

Setelah menelusuri Sumatera Selatan, Pastor van Oort menyadari bahwa tempat yang tepat untuk pusat misi bukanlah Tanjung Sakti melainkan Palembang. Pada waktu itu Palembang adalah kota terbesar dan terpenting dari seluruh Sumatera Selatan. Dipilihnya Palembang sebagai pos tetap ini membuka kesempatan untuk aktivitas baru. Pada Februari 1926 didirikan suatu instansi Perawatan Orang Sakit. Para suster Fransiskanes dari Charitas menyediakan diri untuk menangani Rumah Sakit ini. Pada tahun 1938 rumah sakit dibangun kembali dengan perlengkapan yang lebih modern. Pos misi yang ketiga adalah Bengkulu, sebuah kota yang makmur tempat timbunan hasil bumi dari pedalaman terutama karet, kopi, dan teh. Seminggu sekali, Bengkulu didatangi oleh satu atau dua kapal K.P.M. yang singgah di pelabuhan pantai barat Sumatera. Juga kapal-kapal Jerman dan Inggris secara teratur singgah di Bengkulu. Pastor pertama di Bengkulu adalah Pastor Matthaeus Gerlachus Neilen. Ia adalah seorang perintis yang tangguh. Pos misi yang keempat adalah kota kembar Tanjungkarang – Telukbetung. Kota ini terletak di ujung selatan Sumatera, yang ditandai dengan pelabuhan Panjang yang dibangun pada tahun 1913. Pastor van Oort menjadi pastor pertama yang menetap di kota kembar ini. Kedatangan para transmigran Jawa ke Gedong Tataan mendorong para misionaris untuk berkarya di tengah mereka. Oleh karena itu Pastor Albertus Hermelink (kemudian menjadi Mgr. Hermelink), berangkat ke Yogyakarta untuk belajar bahasa dan budaya Jawa. Pada tanggal 24 Mei 1932 ia mulai menetap di pastoran Pringsewu yang pada saat itu sedang dibangun. Pada tanggal 4 Juni Suster-suster Fransiskanes dari Thuine tiba di Pringsewu. Mereka segera mendirikan HIS dan banyak sekolah lain, juga sebuah poliklinik yang di kemudian hari menjadi rumah sakit yang lengkap.

Seiring dengan meluasnya daerah transmigrasi ke Metro, pelayanan para misionaris mengembang juga. Pastor Neilen menjadi pastor pertama di Metro. Para Suster Hati Kudus berkarya di bidang pendidikan, sedang para Suster Fransiskanes di bidang kesehatan. Di kemudian hari klinik bersalin Santa Maria menjadi sangat terkenal, bahkan sampai ke luar Metro. Dalam kerjasama dengan komunitas religius lain, terutama dengan para suster, SCJ melayani masyarakat. Dalam kerja-sama ini SCJ menentukan prioritas karya, pertama, mewartakan Kabar Gembira dan melakukan penginjilan, kedua, membangun dan menyelenggarakan sekolah bagi anak-anak, ketiga, merawat orang-orang sakit, dan keempat, memprakarsai keterlibatan dalam karya sosial.

Mengapa pendidikan dan kesehatan dipilih sebagai prioritas dalam pelayanan? “Di mana ada sekolah misi di situ lalu ada orang Katolik,” ungkap Sr.M. Arnolde Fr.Pr., guru yang sudah berada di Metro sejak tahun 1939. Ini terjadi karena para guru mencari murid sekaligus membuka hati mereka untuk menerima ajaran Kristen. “Caranya saya bertanya di mana ada anak yang belum sekolah? Sesudah diberitahu saya mendatanginya. Waktu itu jalannya masih jalan setapak, kiri kanan masih banyak alang-alang. Ke mana-mana saya naik sepeda.

Dalam satu perayaan meriah bersama Uskup Hermelink.SCJ

Dalam karya pendidikan ini lebih banyak berperan para guru putri. Hampir semua yang menjadi pelayan dalam berwarta adalah para guru dan itu adalah guru putri. Mungkin karena mereka lebih mudah bergaul dengan masyarakat. Para wanita ini telah berperan besar dalam pendirian Gereja Sumatera. Karya kesehatan juga menjadi salah satu prioritas karya para misionaris karena pelayanan dalam bidang kesehatan sangat diperlukan saat-saat itu. Pada tahun 1939 Lampung adalah daerah transmigrasi baru. Banyak dilakukan penebangan hutan, banyak pembakaran hutan, sehingga banyak orang terkena serangan malaria, banyak pula yang terluka karena tertancap kayu atau juga diserang binatang buas.

 

4. Para Guru Ikut Bermisi

Karya misi para misionaris ini mendapat bantuan besar dari para guru yang sebagian besar didatangkan dari Jawa. Pada saat itu menyelenggarakan sekolah tidaklah mudah. Sekolah ada, tetapi murid tidak ada. Karena itu para guru harus mencari murid terlebih dahulu. Ada dua cara yang ditempuh untuk mengumpulkan murid. Pertama, setiap guru berkeliling kampung untuk menyadarkan orangtua tentang pentingnya pendidikan dan agar orang tua mau menyekolahkan anaknya. Kedua, apabila cara pertama tidak berhasil, maka para guru menghadap lurah untuk meminta bantuannya. Guru menyampaikan data jumlah anak di desa itu dan Lurah memberikan perintah agar para orangtua menyekolahkan anaknya. Apabila tidak bersedia, orangtua terkena hukuman kerja rodi. Selain mencari murid, para guru ini juga mendapat tugas tambahan yaitu mengajar agama, tiga kali dalam seminggu. Setiap minggu mereka berkumpul di Gereja untuk menerima pelajaran dari pastor dan harus menunjukkan laporan kegiatan mereka mengajar agama. Oleh kesaksian hidup dan pewartaan yang tak kenal lelah dari para guru inilah karya misi mendapat dukungan yang begitu besar.

 

5. Masa-masa Sulit

Sejak Hindia Belanda pergi dan Jepang datang, Gereja Indonesia, termasuk Gereja Sumatera, mengalami perubahan yang amat besar, yang tentu saja tak lepas dari goncangan-goncangan psikologis, penderitaan dan kecemasan. Maklum, mereka masih Gereja yang amat muda, yang dulu terbiasa terlindung oleh para misionaris dan bergengsi pula karena seagama dengan tuan-tuan negeri Belanda. Pada masa pendudukan Jepang semua misionaris (pastor, bruder, dan suster) Belanda ditawan. Ada beberapa tempat internering antara lain Muntok dan Tanjungkarang. Pada masa ini semua mengalami penderitaan. Para misionaris mengalami penderitaan fisik yang amat sangat. Gereja menangis karena harus kehilangan 9 pastor, 2 bruder, dan 31 suster selama masa ini. Umat mengalami situasi tercecer yang sungguh-sungguh merana, seperti anak yatim piatu yang tiba-tiba kehilangan orang tua.

Umat Katolik mengalami kebingungan karena ditinggalkan oleh para Gembala mereka. “Meskipun begitu kami tetap sembahyang secara bergiliran,” ungkap Ibu Filicita, tokoh umat yang waktu itu menjadi guru di Metro. Mereka telah menerima pesan dari Pastor Neilen agar tetap memelihara kesatuan umat. Karena keadaan ini, umat awam bagaikan tersengat keberanian mereka, tetap hidup setia kepada Yesus dan Gereja. Hanya tekat imanlah yang mengalahkan penderitaan bahkan semangat justru semakin menyala­nyala. Di pundak mereka Gereja bertumbuh dan berkembang.

Ada beberapa tokoh umat yang berusaha bertemu dengan gembalanya di internering. Banyak cara mereka tempuh. “Saya menyamar sebagai seorang pedagang sayur,” ungkap Sr. Arnolde Fr.Pr. yang waktu itu masih sebagai ibu guru. Ia mencoba berkomunikasi dengan para pastor dan suster. Kadang kala para tokoh umat ini juga mengambil Hosti Suci dari pastor agar bisa menyambut komuni.

 

6. Masa Emas Perkembangan Gereja

Sesudah pendudukan Jepang keadaan menjadi lebih baik. Palembang berkembang pesat. Didirikan sebuah paroki di Talang Jawa (kini paroki Hati Kudus), di Talang Semut (sekarang paroki katedral Santa Maria). Dibangun pula gereja di Plaju. Pastor Gerardus Elling ditempatkan di sana. Selanjutnya di Sungai Buah juga didirikan gereja dan sebuah SD. Tahun 1965, Sungai Buah menjadi paroki yang mandiri. Akhirnya diberkati gereja Santo Yoseph pada tahun 1967. Paroki ini adalah paroki terbesar di Palembang, baik dilihat dari wilayahnya maupun dari jumlah umatnya.

Didirikan pula paroki di daerah transmigrasi, yaitu Belitang. Pastor Neilen menetap di Mojosari. Kemudian Gumawang dipilih sebagai pusat paroki. Pada akhirnya para misionaris berhasil mendirikan Gereja dengan membangun beberapa paroki di Palembang dan Tanjungkarang. Di Palembang mulai berdiri paroki-paroki Tugumulyo, Baturaja, Bengkulu, Curup, Jambi, Lahat, Tanjung Enim. Pada tahun 1961 Vikariat Palembang menjadi keuskupan. Uskup pertama adalah Mgr. Henricus Norbertus Mekkelholt, SCJ. Pada tahun 1963 ia digantikan oleh Mgr J.H. Soudant, SCJ.

Atas permintaan Mgr. Leo Soekoto SJ,.pimpinan serikat mengirimkan para SCJ untuk berkarya juga di luar keuskupan Palembang dan Tanjungkarang, yaitu Keuskupan Agung Jakarta. Pada tahun 1971 paroki St. Antonius Bidaracina menjadi paroki pertama SCJ di Jakarta. Pastor pertama di sana adalah Pastor G. Elling SCJ dan Pastor Mark Fortner SCJ.

Nisan Misionaris SCJ pertama ke Indonesia dikuburkan di Jl. Leuwigajah, Cimahi, Jawa Barat.

7. Misi Terhadap Penduduk Asli Sumatera

Kalau kita sekarang memperhatikan wajah Gereja Sumatera bagian Selatan, lebih menampakkan warna Jawa dan Tionghoa. Menjadi pertanyaan sekarang, mengapa budaya dan penduduk asli Sumatera justru tidak dominan di tanah mereka?

Pada awalnya para misionaris bermaksud bermisi juga di antara orang-orang asli, selain melayani orang Eropa yang ada di Indonesia. Namun dalam perkembangannya, karya bagi para pendatang lebih menjanjikan perkembangannya. Sementara karya misi kepada orang asli tidak berkembang seperti diharapkan. Misi kepada para pendatang (Jawa dan Tionghoa) berkembang sangat pesat, bahkan bisa dikatakan sukses. Para misionaris awal terikat kepada kesuksesan ini berhubung kewajiban mengirim statistik ke Roma.

Maka bisa dimaklumi ketika misi kepada penduduk asli agak diabaikan dan misi dialihkan kepada para pendatang. Para pendatang ini juga lebih mempunyai jiwa yang terbuka untuk kekristenan. Seperti kita tahu pada tahun tigapuluhan terjadi gelombang transmigrasi. Akhirnya para misionaris sudah terlalu disibukkan oleh para pendatang. Oleh karena itu misi kepada para penduduk asli lebih berupa memperlihatkan Kristus melalui hidup sehari-hari. Kenyataan menunjukkan bahwa cukup sulit penduduk asli menerima ajaran kristiani. Kesulitan itu disebabkan oleh keadaan mereka yang masih buta huruf, kemudian adat istiadat yang lebih mengatur hidup mereka. Maka sulit untuk mengambil keputusan secara pribadi, karena masing-masing terikat pada pandangan kelompok.

Jadi kesulitan yang ada lebih dalam arti sosiologis, bukan masalah teologis, misalnya ada paham yang sangat bertentangan dengan pandangan Gereja mengenai suatu hal. Masyarakat asli Sumatera sangat fanatik pada ikatan keluarga. Maka bila berbeda dari masyarakat merupakan beban tersendiri, demikian pula bila seseorang memutuskan diri untuk menjadi Kristen. Walaupun demikian orang yang sudah menjadi Kristen, bila tetap bertahan walaupun banyak komentar, mereka tetap diterima dan tidak disingkirkan. Kefanatikan yang ada berbeda dengan kefanatikan yang terjadi dalam masyarakat Indonesia pada umumnya. Oleh karena itu bisa dipahami jika pada saat terjadi penangkapan para pastor dan suster, banyak penduduk asli yang sudah Kristen kembali kepada kepercayaan mereka. Rupanya adat istiadat lebih tertanam daripada ajaran dan tradisi keagamaan.

Mengenai karya misi kepada penduduk asli ini ada kesaksian lain. Kesaksian ini mengatakan bahwa sejak semula karya ini kurang mendapat perhatian. Pelayanan para misionaris pertama-tama ditujukan kepada orang Belanda. Kemudian ketika banyak transmigran dari Jawa, mereka mengarahkan pelayanan misi kepada para pendatang ini. Sesudah Palembang menjadi daerah misi, pelayanan juga diarahkan kepada orang-orang Tionghoa. Untuk menjalankan misinya, para misionaris kemudian belajar bahasa Jawa dan atau Mandarin.

Karya bagi orang Sumatera asli sedikit terabaikan. Hanya di dua tempat karya ini nampak dilakukan yaitu di Tanjung Sakti dan Batu Putih. Di kedua tempat ini para misionaris bisa masuk karena di Tanjung Sakti karya misi sudah diawali oleh para Jesuit, sedangkan di Batu Putih, para misionaris mendekati para pemimpin suku sehingga mudah untuk menarik semua masyarakat untuk mengikuti kepalanya. Namun di banyak tempat hal ini tidak bisa dilakukan. Pada saat ini kita bisa saksikan bahwa masih begitu sedikit penduduk asli Sumatera yang mengenal Kristus. Mungkin ini menjadi tantangan tersendiri bagi para SCJ masa kini.

 

8. Penyusunan Struktur Kongregasi

Dalam tahun-tahun tersebut kongregasi di Indonesia seakan-akan mulai sadar bahwa para anggotanya tidak hanya merupakan misionaris pelayan misi, tetapi juga harus membina identitas dan kedaulatan sebagai kongregasi. Pada permulaan misi tidak ada pimpinan kongregasi yang memperhatikan kepentingan kongregasi dan anggota kongregasi. Satu-satunya pimpinan adalah Prefek Apostolik, yang memang anggota kongregasi, namun bukan pimpinan dalam kongregasi. Mungkin karena jumlah religius yang masih sedikit. Tetapi sesudah tahun-tahun pertama yang sulit berlalu, segera nampak bahwa diperlukan juga suatu pimpinan khusus untuk kepentingan kongregasi. Sejak 1927 Pastor Joh Alphonsus van der Sangen atas permintaan Pastor Govaart, pimpinan Jendral pada waktu itu, datang ke Sumatera sebagai pimpinan religius yang pertama.

Dalam tahun 1934 tersusun Status Misi yang mengatur hubungan dasar antara pimpinan Gereja dan pimpinan kongregasi dalam misi. Pengaturan dasar ini dapat saja ditambah dengan persetujuan-persetujuan khusus antara pimpinan Gereja dan kongregasi. Konvensi pertama terbentuk dalam tahun 1951 (52). Tetapi masih cukup lamalah meluas anggapan, bahwa kita di sini pertama-tama adalah misionaris. Kaitan antara karya misi dan kongregasi belum sungguh nampak. Ini ada sebab historisnya juga. Sebelum perang keadaan finansial kongregasi pada umumnya dan propinsi Belanda khususnya tidak memungkinkan memberikan tunjangan keuangan yang banyak. Maka dari itu tidak mungkinlah untuk menyusun misi seperti Zaire, dimana setiap pos masing-masing mempunyai sumber pendapatan sendiri. Pada permulaan misi, itu memang ada dalam pemikiran, tetapi tidak pernah dapat terwujud. Pada waktu itu banyak keluhan dan akibatnya ialah bahwa anggota kongregasi dalam hal ini merasa ditelantarkan. Ini menimbulkan ketegangan, yang kemudian larut dengan bergantinya keadaan. Maksud awal mendirikan Gereja memuat juga tugas untuk mendirikan Kongregasi, walau belum begitu eksplisit. Situasi politik pada tahun enam puluhan mendorong untuk mendirikan propinsi sendiri. Ini merupakan taktik politik, dimana karena masalah Irian, hubungan Indonesia Belanda menjadi tidak baik.

Tahun 1962 Indonesia menjadi Vice Provinsi dengan 2 orang penasihat. Dan pada tahun 1974 menjadi propinsi penuh dengan 3 bruder dan 4 frater pribumi. Pastor M.J. Weusten SCJ menjadi Provinsial yang pertama. Sampai sekitar tahun 1990, pelayanan SCJ dipusatkan pada karya parokial. Ini disebabkan oleh keprihatinan tunggal waktu itu yaitu membangun Gereja Sumatera bagian selatan. SCJ hendak membangun kongregasi tetapi juga terutama mendirikan Gereja di daerah ini.

Sejak tahun 1990, SCJ mulai meninjau kembali prioritas pelayanannya. Ini terjadi karena:

  1. Sekarang sudah mulai tampil para imam Diosesan yang akan mengambil alih pelayanan parokial,
  2. SCJ mencoba untuk meneguhkan hidup religius. Hidup bersama dalam komunitas religius menjadi sangat penting saat ini,
  3. SCJ menganggap perlu untuk menempatkan pentingnya pendidikan bagi semua anggota SCJ,
  4. SCJ Indonesia juga berkehendak untuk melakukan pelayanan seperti yang telah dikehendaki oleh Pater Pendiri, misalnya pendidikan, pelayanan retret, keadilan sosial, karya misioner, dan
  5. SCJ terpanggil untuk menghidupi semangat “Kita Kongregasi, demi pelayanan Misi”

 

1 Komentar

  1. Menarik artikel ini… spy umat dan masyarakat mengerti sejarah SCJ dan Gereja di Sumsel. Visi ke depan Kongregasi menurut saya baik — mememajukan keadilan sosial, pendidikan, memajukan masyarakat, ini aktivitas yg sulit dilakukan oleh Paroki2

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*