Konferensi Internasioal Devosi Hati Kudus Yesus 2019 – Hari Kedua Sore

Laporan Hari Kedua – Sesi Sore Hari

Setelah makan siang, konferensi ini dilanjutkan dengan presentasi dari Dr. Marcello Neri. Beliau menyampaikan pikirannya tentang tegangan teologis antara Thomas da Olera dan Margareta Maria Alacoque. Bila Thomas da Olera melihat devosi ini sebagai kekuatan spiritual yang mengatur hidup pribadi dan personal dari para devosan, maka Margareta Maria Alacoque melihat devosi ini sebagai kekuatan yang memiliki kekuatan publik yang transformatif. Pater Dehon dengan pengalaman mistiknya sendiri, memilih untuk memadukan kedua pandangan tokoh ini dan dengan demikian memberi warna baru dalam penghayatan devosi pada Hati Kudus Yesus. Pater Dehon berbicara bahan personal dalam devosi ini namun juga menekankan visi komunal dan politisnya. Saya merasa perspektif Dehon inilah yang membuat Kongregasi kita menjadi unik dalam spiritualitasnya.

Dr. José Tolentino Mendonça yang baru saja diangkat oleh Paus Fransiskus beberapa bulan yang lalu menjadi Kardinal menjadi narasumber yang menawarkan refleksi tentang pentingnya keterhubungan antara pengalaman inderawi dengan pengalaman spiritual. Dalam sejarah panjang fislsafat dan teologi, pemisahan antara roh dan tubuh telah menjadi begitu akut sehingga seolah-olah tubuh dengan segala inderanya tidak memiliki kapasitas untuk sampai pada pengalamanan akan Allah. Kardinal Mendonça menekankan keseimbangan antara tubuh sebagai sumber pengetahuan duniawi dengan roh/jiwa sebagai sumber kapasitas untuk beriman. Hanya dengan kerangka berpikir yang seimbang inilah, devosi pada Hati Kudus Yesus akan menemukan tempat istimewanya. Hati Kudus Yesus sebagai perwujudan dari realitas tubuh yang organik dengan realitas ilahi menjadi wadah refleksi bagi kemanusiaan untuk menemukan tata bahasa yang tepat bagi dialog antara iman dan dunia. Seolah melanjutkan presentasi dari Dr. Neri sebelumnya, devosi pada Hati Kudus Yesus mestinya mengantar orang beriman untuk masuk dalam “jantung hatinya” sendiri dan juga sekaligus “jantung-hati” dunia di mana ia hidup, ia bergera dan ada dengan segala kapasitas inderawinya.

Dr. John van der Hengel masuk lebih dalam lagi membahas kekahasan Dehon dalam menafsirkan devosi Hati Kudus Yesus ini. Sebagaimana telah sedikit banyak dibahas oleh pembicara sebelumnya, kekhasan Dehon adalah bahwa beliau menemukan Kristologi Hati yang memadukan baik tradisi mistik yang menekankan hidup batin dan tradisi sosial politis. Dr. van der Hengel dengan sangat jelas membuat beberapa kutipan dari tulisan Pater Dehon tentang “cinta murni.” Konsep “cinta murni” ini tak bisa dipisahkan dari prinsip keadilan dan usaha untuk memperoleh keadilan di dunia ini (terutama dalam konteks zaman Dehon: keadilan bagi para buruh pekerja yang sering digaji tidak layak).

Sesi penutup dari Dr. Nicolas Steeves SJ memberikan lanskap pamungkas tentang bagaimana peran devosi Hati Kudus Yesus sebagai locus theologicus yang kaya akan simbol dan undangan untuk berimajinasi. Imajinasi penting bagi teologi karena simbol dan perumpamaan adalah bahasa paling mudah dimengerti untuk membahasakan misteri ilahi; bukan bahasa-bahasa keilmuan yang rumit. Simbol Hati Kudus Yesus sangatlah sederhana – sebuah simbol yang melambangkan begitu banyak doktrin teologis tentang kasih, tentang penebusan, tentang karya kasih dan tentang identitas Allah. Devosi pada Hati Kudus Yesus dengan segala kekayaanNya adalah sebuah undangan untuk memajukan teologi kita; untuk menimba kembali sumber-sumber yang berakar dalam sensus fidelium dan merefleksikannya dengan kemampuan imajinatif kita.

 

Penutup: Refleksi Personal

Demikianlah laporan singkat dari bahasan konferensi ini. Tentu banyak reduksi di sana-sini dalam tulisan ini dan hal ini sangat sulit dihindari mengingat betapa kaya bahasan tentang devosi pada Hati Kudus Yesus. Ada tiga poin refleksi personal saya tentang konferensi ini secara umum dan tentang topik pembicaraan kita secara khusus. (1) Lanskap historiografi ternyata sangat penting untuk dapat mengerti bagaimana isi dan bentuk dari devosi Hati Kudus Yesus berkembang sepanjang sejarah. Aneka laku kesalehan yang kita warisi saat ini adalah sebuah perjalanan sejarah yang panjang; yang perlu sekali-kali kita tilik ulang agar kita tahu benar esensi devosi yang sangat kaya ini.

(2) Devosi ini biasanya kita “cap” sebagai devosi yang datang dari Gereja Barat. Padahal, terma “Gereja Barat” ini sangat kompleks karena masing-masing bangsa dan budaya di Eropa berupaya untuk menafsirkan devosi ini sesuai dengan lokalitas dan temporalitasnya masing-masing. Bahkan di beberapa periode waktu, devosi publik ini dimanfaatkan juga untuk membangun identitas politis dan kerangka politik sayap kanan. Bagi Gereja Indonesia, saya pikir laku kesalehan ini belum terlalu signifikan berakar dalam refleksi politis praktis sebagaimana sempat terjadi di Eropa dan sebagian Amerika Latin. Maka, rasanya kita sebagai devosan dan pengikut Hati Kudus Yesus layak mengolah bersama refleksi tentang “kekuatan publik” dari gerak devosi ini.

Terkahir, (3) devosi Hati Kudus Yesus ini bukanlah sebuah finalitas. Ia selalu berkembang sesuai dengan zaman dan latar belakang masyarakat dan jemaat beriman. Bagaimana mendaratkan nilai-nilai ilahi dan manusiawi dengan seimbang dalam devosi ini? Bagaimana kita dapat berbicara tentang gerak penyucian diri sembari juga bertindak dengan aksi sosial dalam masyarakat? Berakar dari sejarah, sebagaimana saya sebutkan dalam poin 1, kita dapat menemukan kembali hubungan antara isu-isu kontekstual tentang antropologi, gender, politik, dan sosiologi dengan devosi pada Hati Kudus Yesus ini. Semoga.

 

Albertus Joni SCJ

2 Komentar

  1. Amat menarik 3 refleksi pribadi pater Joni. Izinkan saya menanggapi refleksi ke 2 yg mengaitkan laku kesalehan devosi hati kudus Yesus dalam praktik “political movement” dlm gerak nyata kesalehan dalam lingkup praktik pendidikan, persekolahan di Indonesia yg sudah terformat pada pola asuh negara melalui sekolah negeri. Jangan lupa bahwa pendidikan, saya ambil di pendidikan dasar saja, begitu membutuhkan peran serta atau sentuhan kesalehan devosian dalam praktik doa2 anak2 katolik yg ke depan akan membentuk warna kesalehan yg bakal tercermin dalam gerak sosial mereka sebagai gereja muda. Ironinya bahwa di bayak sekolah2 negeri amat minim menperoleh suntikan atau sentuhan2 devosional yg menginspirasi anak2 katolik di sana. Kalau di sekolah katolik pasti terjamin karena lingkungan memang seharusnya demikian. Saya mengajak para dehonian lebih pro aktiv bergandeng tangan bersama para guru agama katolik yg sangat minim di sekolah2 negeri. Padahal hitungannya tdk sedikit anak2 katolik yg sekolah di sekolah negeri. Harus diakui bahwa sekolah negeri memiliki daya tarik tinggi karena nyaris gratis. “Political practice” harus dimulai dari “political will”. Selama ini potret kerjasama dan relasi yg terjadi adalah pihak sekolah yg putar2 mencari dukungan ke berbagai konggregasi, namun belum terpola sebuah kerjasama yg lebih terprogram dan melembaga. Kalau saya amati karena memang relasi itu belumlah cair, masing2 masih pada posisi institusionalnya shg tidak fleksibel dan kaku.
    Kesalehan devosional hanya dapat masuk melalui praktik liturgis. Misalnya melalui kegiatan retreat, namun utk sekolah negeri kadabg terkendala pembiayaan yg kondisinya sangat tergantjng pada pola kepemimpinan kepala sekolahnya. Ada sekolah yg bisa dan boleh membiayai ttp ada lula yg tdk dengan berbagai alasan. Jika guru agama katolik kreatif dan melibatkan orang tua siswa, banyak sekolah yg bisa menyelenggarakan retreat atau minimal doa bersama atau misa di sekolah. Tetapi kebanyakan sekolah negeri minim kemampuan untuk itu, entah karena faktor hambatan guru atau lingkup kebijakan kepala sekolah.
    Saya pikir itulah realitas paling dekat hal pemahaman praktis kesalehan devosional bisa memberi dorongan konkrit jika ada jalinan yg nyata bagi gereja muda potensial yg ada di sekolah2 negeri. Apakah para dehonian salah satunya bisa bersinergi dengan pola didik masyarakat yg sudah terbentuk melalui institusi sekolah neveri itu ? Semoga ini bisa menjadi kenyataan bahwa gereja di Indonesia bisa masuk dalam distem pendidikan karakter pada sekolah negeri, baik itu secara kelembagaan resmi atau dalam praktik kerja sama yg tdk perlu secara resmi, namun yg penting tetap mewarnai bagi hidup, kepribadian dan nilai2 kesalehan akan kesadaran dalam Hati Kudus Yesus yang labih nyata. Semoga.
    Salam kasih Hati Kudus Yesus.

    Andi Suryono
    Guru SMPN 15Jogja
    andisuryono.as@gmail.com

  2. Terima kasih tanggapannya pak Andi, akan saya teruskan kepada yang berwenang agar menjadi refleksi dan gerak langkah selanjutnya khusnya untuk komisi spiritualitas dan komisi pendidikan umum SCJ Indonesia. Berkah Dalem.

Tinggalkan Balasan ke dehonian Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*