Laporan Hari Kedua – Sesi Pagi & Siang Hari
Konferensi tentang Devosi kepada Hati Kudus Yesus di hari kedua ini dibuka oleh dua pembicara: Dr. Daniel Sidler dari Univeristy f Basel dan Dr. Maria Antonia Herradon Figueroa dari Real Academia de Bellas Artes. Dr. Sidler menganalisa devosi pada Hati Kudus Yesus dalam tegangan teologis yang terjadi di paruh kedua abad XVIII. Para pendukung ideologi Abad Pencerahan yang mengagungkan rasio menganggap bahwa devosi hanyalah bentuk kesalehan rakyat yang tak begitu penting. Dalam kritik dari para tokoh rasionalis ini, justru devosi di era Baroque tidak mati dan berkurang. Sejarah mencatat bagaimana Devosi pada Hati Yesus diteruskan dan dilanjutkan dalam pelbagai bentuk praktik kesalehan, doa-doa populer dan banyak tempat ziarah yang didirikan pada era itu.
Dr. Figueroa memberikan lanskap khusus dari penelitiannya tentang Devosi Hati Kudus Yesus di sejarah modern bangsa Spanyol. Dalam awal abad XIX, bangsa Spanyol menemukan kembali dan mengadopsi kekayaan devosi Hati Kudus Yesus dalam masyarakatnya. Berdasar “Janji Hati Kudus” yang menawarkan “kemenangan dan kejayaan,” devosi ini diintrumentalisasi secara politis sebagai pemersatu bangsa Spanyol. Para penguasa Spanyol menjadikan Hati Kudus Yesus sebagai lambang kejayaan bangsa yang harus diwujudkan bersama. Bahkan dalam beberapa kesempatan, simbol “pengudusan pada Hati Yesus” ini digunakan juga oleh rejim totalitarian sebagai justifikasi ideologi politisnya. Menurut saya, presentasi Dr. Figueroa ini sangat kontekstual untuk membaca bagaimana kekuatan devosi dalam mengatur emosi populis sesungguhnya merupakan kapital politis yang dapat dimanfaatkan – untuk tujuan yang baik dan yang tidak baik. Menarik jika kita menghubungkan devosi dan propaganda religius yang marak terjadi dengan meningkatnya kekuatan politik identitas dan sayap kanan di banyak sudut dunia belakangan ini.
Dr. Paul Airiau dari Institute d’Etudes Politiques kurang lebih melanjutkan diskursus tentang devosi dan kaitannya dengan politik praktis. Mengambil latar pembaruan devosional yang didorong oleh Mgr. Maxime Charles dari Basilika Hati Kudus Yesus Montmartre (1969-1985), Dr. Airiau menjelaskan bagaimana devosi Hati Kudus Yesus dikaitkan erat dengan identitas militan orang-orang Prancis. Alih-alih menafsirkan devosi ini dalam kerangka kesalehan tradisional, Mgr. Charles menggunakan sumber-sumber teologis dari Berulle untuk mendaratkan devosi pada identitas bangsa Prancis. Justru saat masyarakat Eropa mengalami pertumbuhan liberalisme dan kenyamanan pasca perang dunia II, pelbagai komunitas devosional, peziarahan, ritual dan laku kesalehan yang ketat diperkenalkan kembali oleh Mgr. Charles bagi masyarakat Paris, terutama dalam lingkaran intelektualnya. Jejak militansi identitas ini kemudian berpengaruh pada kaum intelektual Prancis yang kemudian mewarnai banyak diskursus publik di Paris.
Sesi selanjutnya diisi oleh Dr. Francis Purwanto SCJ yang memberi refleksi teologisnya tentang Gereja Hati Kudus Yesus Ganjuran di Yogyakarta. Sebagai satu-satunya presenter dari Asia, Dr. Purwanto menawarkan bentuk konkret inkulturasi devosi Eropa dengan budaya lokal. Visi politis dari devosi Hati Kudus Yesus ini diejawantahkan dalam usaha orang-orang Katolik Jawa untuk mentransformasi hubungannya dengan diri sendiri, dengan sesama, dengan alam dan dengan Tuhannya. Dr. Purwanto memberi masukan yang sangat menarik tentang konsep harmoni yang cukup umum dijumpai di Asia. Prinsip harmoni ini menawarkan kesempatan bagi penganut Devosi Hati Kudus Yesus di Ganjuran untuk membuka pintu dialog dengan kaum miskin, dengan penganut agama lain dan dengan ragam budaya yang berbeda. Presentasi dari Dr. Purwanto ini juga bicara tentang usaha masyarakat Ganjuran untuk menemukan bentuk liturgis yang sesuai dengan budaya lokal sehari-hari dan bagaimana mereka juga “meneruskan” devosi yang liturgis ini dalam karya hidup yang nyata.
Sven Baier dan Damian Troxler dari University of Teacher Education menutup sesi pagi dengan presentasi yang sangat menarik tentang didaktik ikonografi di kalangan pelajar sekolah menengah dan mahasiswa. Menurut mereka, diskursus religius di tengah masyarakat sekular Eropa dapat ditemukan dalam simbol-simbol popular yang banyak dipakai oleh orang muda: tatto, pelbagai talisman (semacam jimat keberuntungan), hingga simbol-simbol seni kontemporer lainnya. Sebagai contoh bagaimana definisi cair dari devosi menjadi begitu cair di kalangan masyarakat modern, diambillah perbandingan antara devosi dengan kultus sepakbola. Penggemar sepakbola dapat menjadi begitu intim terlibat di dalam olahraga ini; bahkan hingga menentukan identitas pribadi dan komunal. Di Argentina, misalnya, kita jumpai penggemar fanatik Diego Maradona mendirikan “Gereja Maradiona” (kata gabungan antara dio [Tuhan] dengan Maradona). Bagi sebagian orang, struktur kultus sepakbola menjadi sangat mirip dengan devosi dan hal ini dapat menjadi contoh bagaimana devosi dapat diluaskan diskursusnya dalam didaktik di tengah kaum muda.
Albertus Joni SCJ
Foto-foto ⇒
Leave a Reply