Salam dari Papua

Hai saudara-saudari, Perkenalkan saya adalah Bonifasius Juspani Lase SCJ. Saya bertugas di Kuasi Paroki St. Yosep Deniode. Kuasi ini terletak di Dekanat Kamumapia, Keuskupan Timika, Papua. Tempat ini dingin banget. Benar sekali kuasi ini terletak di daerah pegunungan.

Saya ingin berbagi tentang pengalaman Natal tahun 2021 yang lalu.  

Perkampungan penduduk di Deniode

Pada hari Rabu, 22 Desember 2021, pukul 11.30 WIT, saya dan para pastor asisten berangkat dari bandara Timika menuju Enarotali. Kami menggunakan pesawat AMA yang berkapasitas 12 Penumpang. Omong-omong, pesawat AMA memang kecil dan berkapasitas sedikit. Pesawat ini cocok sekali untuk terbang melewati celah gunung dan lembah. Benar-benar lincah. Di Enarotali saya harus menginap satu malam lagi.

Pada hari Kamis, 23 Desember, kami berempat yaitu 2 imam, 1 suster, dan 1 bapak, berangkat lagi menuju dua tempat yaitu Deniode dan Apowo. Tahu ga, kami naik pesawat lagi lo. Pesawat AMA yang kami naiki lebih kecil lagi yaitu yang berkapasitas 6 penumpang. Kami sampai merasakan hal yang membuat kami bergetar. Mengapa? Perjalanan kali ini harus berhadapan dengan angin kencang dan kabut juga tebal. Pesawat kami beberapa kali berputar karena mencari celah di awan-awan yang tebal agar bisa melihat landasan pesawat.

Perjalanan menuju Apowo

Syukur kepada Allah, kami mendarat dengan lancar, di Deniode. Turun dari pesawat saya dan bapak Hengki yang menemani saya disambut dengan tarian dan sungguh meriah sekali. Kami tersanjung sampai-sampai saya pun ikut bergoyang. Mereka senang sekali mendapat pelayanan Natal dari imam. Saudara-saudari perlu tahu bahwa selama ini perayaan hari Minggu dipimpin oleh pewarta setempat saja.

Terus terang kalua udara yang sangat dingin dan bahasa menjadi tantangan tersendiri bagi saya. Syukurlah ada pewarta setempat yang membantu saya mempersiapkan liturgi malam Natal dan Natal paginya. Mereka sangat antusias sekali. Banyak pertanyaaan yang mereka tanyakan seputar perayaan natal termaksud hal yang sederhana yaitu “Pater kapan bunyikan bellnya?” atau “Pater, kita berlututkah atau hormat saja pas maju membacakan bacaan?” Pertanyaan-pertanyaan sederhana ini membuat saya semakin bersemangat untuk mengajari mereka dalam berliturgi.

Kesederhanaan umat merayakan Natal

Sttt!  He he he tentunya di luar nyanyian. Jujur saya tidak bisa baca not dengan pas.

Oya, semua lagu dibawakan dalam bahasa Mee. Jujur saja saya tidak banyak mengerti arti dari Bahasa Mee. Tetapi melihat dan merasakan secara langsung mereka bernyanyi, semakin menambah penghayatan dalam menyambut Sang Mesias. Bayi Yesus yang digendong oleh pasangan suami-istri dengan memakai pakain adat mereka sungguh memperlihatkan sukacita dan kesederhanaaan mereka menyambut Sang Imanuel.

Selamat Natal. Itulah kata-kata yang muncul dari mulut kami setelah misa selesai, dan kami saling bersalam-salaman. Saya berdiri di depan pintu dan menyalami semua umat yang hadir, tentunya ada beberapa umat yang menggunakan bahasa daerah khususnya mereka yang tua-tua, saya hanya membalas dengan senyuman sambil menggemgam tangan mereka.

Perjumpaan yang sungguh menggembirakan dan saya bersyukur atas semua pengalaman saya ini.

Salam dar Papua (P. Boni SCJ)

Selamat Natal ya (walau agak telat)

Dan doakan misi kami di Timika.  

Pater Boni Juspani SCJ

2 Komentar

Tinggalkan Balasan ke Bernadetta Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*