Tema 5: Manusia Pembelajar

Tujuan: 

  1. Siswa bisa menjelaskan karakter pembelajar

  2. Siswa bisa Menyebutkan pelajaran yang diminati dan pelajaran yang tidak diminati serta bisa mengatasinya.

  3. Siswa bisa menjelaskan inpirasi apa yang di dapat dari tokoh yang dipelajari hari ini, yaitu Willian James Sidis dan Pater Dehon. 

PENDALAMAN:

Dehon adalah manusia pembelajar. Dia memiliki empat gelar doktor (Hukum Sipil, Hukum Gereja, Filsafat, dan Teologi). Namun sebaiknya empat gelar doktor yang diperolehnya tidak dipandang sebagai oarng yang memiliki kecerdasan super. (Pater Dehon pastinya juga tidak menghendaki pandangan semacam itu). Gelar-gelar itu lebih mengatakan bahwa Dehon adalah pribadi yang haus ilmu. Di luar gelar doktor itu masih ada pembelajaran lain yang ia temukan dalam perjalanan hidup: aktivitas organisasi, perjalanan keliling dunia, menjadi stenograf konsili, dan ditambah pula satu gelar bakalaureat (sarjana) sastra. Dalam catatan hariannya, Dehon menampilkan diri sebagai pribadi dengan banyak minat. Ia fasih bicara mengenai sastra, seni rupa, arsitektur, ekonomi, geografi, selain tentu saja teologi, filsafat, dan hukum. Tetapi ia bukan manusia segala tahu. Ia lebih tampil sebagai manusia pecinta segala pengetahuan.

Sejak kecil, ia sudah menunjukkan karakter pembelajar: yaitu tekun, gemar membaca (membaca semua hal), pecinta diskusi, dan rajin menulis catatan pembelajaran dari segala yang dilihat-dialami. Mungkin semangat belajar ini pula yang membuat Dehon bersedia mengikuti keinginan ayahnya untuk belajar hukum.

Dalam masa mudanya, ada fase-fase pembelajaran menarik yang dialami oleh Dehon. Fase pertama adalah masa kuliah di Paris. Di Paris, ia tidak hanya belajar hukum, tetapi juga mengenal banyak aktivitas rohani dan sosial. Bersama dengan Leo Palustre, Dehon terlibat aktif di Paroki St. Sulpice. Keterlibatan di paroki ini membuatnya mengenal para imam Sulpician yang merupakan bagian dari aliran Sekolah Perancis. Perkenalan dengan aliran teologi Sekolah Perancis sangat mempengaruhi Dehon dan membentuk pemikiran teologisnya. Di Paris pula Dehon terlibat dengan kelompok-kelompok sosial seperti serikat sosial Vincentius dan gerakan-gerakan mahasiswa. Perjumpaan dengan kelompok-kelompok tersebut mengasah jiwa dan kepekaan sosial Dehon yang kelak akan menjadi pilihan karya yang diperjuangkan dengan giat sebagai seorang imam.

Fase kedua adalah studi di Roma. Pada tahun 1865, Dehon masuk seminari St. Klara di Roma. Di tempat ini Dehon meraih tiga gelar doktor (Filsafat, Teologi, dan Hukum Gereja). Tetapi lebih dari gelar akademis, yang paling mengesankan bagi Dehon adalah pembelajaran menjadi katolik sejati. Dehon sangat meyakini bahwa Roma adalah pusat kekatolikan yang murni, yang sesungguhnya. Maka selama tahun-tahun studi di Roma, Dehon menghayatinya bagaikan masa novisiat, masa pembentukan diri sebagai seorang katolik dan menyiapkan diri sebagai religius. Puncak dari masa novisiat ini adalah ketika ia ditunjuk menjadi stenograf Konsili Vatikan I (red= Stenograf dari bahasa yunani Stenos dan Graphein. Stenos artinya singkatan atau pendek sedangkan Graphien artinya tulisan) . Dehon mengatakan bahwa selama satu tahun (masa konsili) itu ia mendapatkan lebih banyak dari pembelajaran selama 10 tahun.  Ia mengenal Gereja Katolik langsung di jantungnya dan belajar dari para pemimpin Gereja di seluruh dunia.

Fase ketiga adalah masa pastoral sebagai pastor di St. Quentin. Dalam periode ini, Dehon berjumpa dengan realita kehidupan di masyarakat. Sebelumnya, Dehon meyakini bahwa jalan hidupnya adalah berdoa dan belajar. Impiannya adalah menjadi ilmuwan yang saleh atau pendoa yang pandai. Tetapi situasi masyarakat yang penuh kemalangan/penderitaan mengusiknya. Ia “terpaksa” mempelajari apa yang terjadi, penyebab-penyebab kemalangan, sistem ekonomi-politik-kemasyarakatan, dan mencari bentuk ideal pastoral yang bisa menjawab kebutuhan masyarakat.

Pengalaman hidup membentuk Dehon menjadi pribadi yang kaya ilmu, baik teori maupun praktis. Kuncinya ada pada semangat dan kemauannya untuk belajar dari segala hal. Menariknya, tidak semua pelajaran didapatkan dari studi atau pengalaman yang disukai atau menyenangkan. Cukup sering justru dari bidang ilmu atau pengalaman yang sebetulnya tidak ia sukai. Contoh: ia tidak suka belajar hukum, ia tidak ingin berkarya di paroki. Tetapi sikap “Fiat!” atau terbuka untuk menerima membuatnya justru mampu melihat kekayaan ilmu di balik semua yang tidak disukai atau tidak menyenangkan.

Berikut ini adalah kisah orang pintar: Wiliam James Sidis. yang memiliki IQ 260 namun hidupnya tidak bahagia.

Kisah hidup Wilian James Sidis.

Pertanyaan refleksi:

  1. Jelaskan macam-macam karakter pembelajar yang kamu ketahui.

  2. Sebutkan pelajaran yang kamu diminati dan pelajaran yang tidak tidak diminati? Bagaimana caranya agar kamu tetap bisa mempelajari pelajaran yang tidak kamu minati? 

  3. Inpirasi apa yang  kamu dapat dari tokoh yang dipelajari hari ini, yaitu Willian James Sidis dan Pater Dehon?

  4. Apa niatmu setelah mendapat pelajaran hari ini tentang manusia pembelajar?

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*