Tahun 1923, SCJ memulai misi Gereja di tanah air berdasarkan mandatum dari Tahta Suci pada tanggal 15 Maret 1923. Tanjung Sakti adalah tempat pertama bagi tiga misionaris SCJ yang datang pada tanggal 23 September 1924. Ketiga misionaris itu adalah Pastor Henricus van Oort, SCJ, Pastor Carolus Stekelenberg, SCJ, dan Bruder Felix van Langenberg, SCJ. Kehadiran SCJ di Indonesia semakin berkembang melalui karya paroki dan juga karya kategorial.
Dalam rangka membuka perayaan 100 tahun SCJ Indonesia, masing-masing wilayah mengadakan perayaan yang serentak dilakukan pada tanggal 14 Maret 2023. Untuk wilayah Lampung, perayaan di awali dengan rekoleksi bersama yang diikuti oleh seluruh anggota SCJ yang berkarya di Keuskupan Tanjung Karang. Rekoleksi dimulai pukul 08.00 WIB di Biara Gembala Baik (BGB) dan dibawakan oleh Rm. Jenli, SCJ. Tema rekoleksi mengacu pada tema 100 tahun SCJ Indonesia yakni “Dengan Hati yang Terbuka Berjalan Bersama Gereja Lokal”.
Salah satu diskusi menarik yang muncul berdasarkan pemaparan Rm. Jenli, SCJ adalah “Bagaimana SCJ Indonesia dan Gereja lokal bisa masuk dan menyatu ke dalam masyarakat asli?” Pertanyaan ini menimbulkan diskusi yang menarik dan beberapa konfrater menyampaikan pendapatnya. Rm. Julianus Puryanto, SCJ menyampaikan pendapatnya bahwa kedekatan antara Gereja dengan masyarakat lokal bisa dibangun dengan cara terbuka dan menghadirkan diri di tengah-tengah mereka.
Berdasarkan diskusi tersebut, muncul keprihatinan yang ada dalam diri para SCJ. Keprihatinan itu adalah minimnya pengenalan para anggota dengan masyarakat dan lingkungan. Hal itu tampak dengan ketidakmampuan berbahasa setempat dan ketidaktahuan akan budaya yang ada di lingkungan sekitarnya. Keprihatinan ini menandakan kurangnya keterbukaan dan minimnya keterbukaan terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar. Rm. Julianus Puryanto, SCJ yang cukup banyak berkecimpung dalam dialog dan hubungan antar agama menyatakan bahwa cara kita menghadirkan diri di tengah masyarakat menjadi kunci agar hidup kita sebagai religius dan imam bisa masuk dalam kehidupan umat dan masyarakat.
Hal menarik lain dalam diskusi adalah penggunaan kata ‘di’. Jika diperhatikan dengan seksama, terdapat perbedaan antara 100 tahun SCJ di Indonesia dengan 100 tahun SCJ Indonesia. 100 tahun SCJ di Indonesia berarti bahwa SCJ hanya hadir saja di Indonesia. Sementara 100 tahun SCJ Indonesia berarti bahwa SCJ tidak hanya sekedar hadir. Lebih dari itu, hal ini berarti bahwa SCJ telah menjadi satu dengan Indonesia, menjadi bagian dari Indonesia. Maka pertanyaan selanjutnya adalah, “Apa yang sudah dan akan dilakukan oleh SCJ Indonesia agar dapat sungguh-sungguh berjalan bersama dengan Gereja lokal?”
Rangkaian acara pembuka 100 tahun SCJ Indonesia dilanjutkan dengan rekreasi dan makan siang bersama. Tempat rekreasi yang dipilih adalah Bukit Idaman yang terletak di Gisting Atas, Kec. Gisting, Kab. Tanggamus. Di tempat itu, para SCJ saling bercengkerama dan berbagi cerita sembari menikmati indahnya pesona alam yang terhampar. Setelah santap siang bersama, semua anggota SCJ kembali ke BGB untuk beristirahat sebelum menutup rangkaian pembuka dengan misa bersama. Misa dimulai pukul 16.30 dengan dihadiri oleh umat. Misa dipimpin oleh Rm. Samiran, SCJ sebagai delegatus ad omnia Keuskupan Tanjung Karang. Setelah misa selesai, acara dilanjutkan dengan ramah tamah bersama seluruh umat yang hadir.
by. fr. Emanuel Widi Prasetyo SCJ – Frater Topper di Sekolah Yos Sudarso Metro.
Foto-foto lainya bisa dilihat di SINI
Leave a Reply