“Menurut kalian, apa itu cantik?” tanya Rm. Dwi, SCJ kepada beberapa frater. Jawabannya menarik dan beragam. Ada yang mengatakan bahwa cantik itu punya gigi gingsul; yang lain mengatakan cantik itu bisa diajak ngobrol; ada yang menjawab kalau cantik itu yang punya taring; yang lain mengatakan semua wanita itu cantik tergantung pada siapa yang melihatnya. Jawaban yang diberikan para frater ini menimbulkan gelak tawa dari beberapa frater yang lain. “masing-masing dari kita punya standar cantik masing-masing. Pun dengan perkembangan kita sebagai religious. Kita berkembang masing-masing menurut kehendak Tuhan,” tandas Rm. Dwi. Pertanyaan ini diberikan Rm. Dwi pada salah satu sesi retret yang sedang dijalani para skolastik SCJ. Retret ini diadakan sebelum para skolastik memperbaharui kaul-kaul mereka.
Retret yang dilaksanakan di Rumah Retret St. Fransiskus milik Suster OSF Semarang ini berlangsung pada tanggal 11-17 Juli 2024. Para konfrater yang menjadi pendamping dalam retret kali ini adalah mereka yang merayakan Pesta Perak Hidup Membiara yaitu: Br. Gatot, SCJ; Br. Dalijan, SCJ; Br. Triantara ‘Badage’, SCJ; Rm. Eko, SCJ, Rm. Arko, SCJ dan Rm. Dwi, SCJ. Mereka akan genap merayakan 25 tahun hidup membiara pada tanggal 1 Agustus 2024.
Tema besar yang ditawarkan oleh para pestawan 25 tahun adalah Kaul: Tanda Kesetiaan Allah. Para pestawan merefleksikan bahwa sebenarnya yang setia selama mereka menghidupi kaul sampai pada tahun ke-25 ini adalah karena Allah-lah yang setia, bukan mereka. Bagi mereka inilah yang penting dan terjadi dalam hidup mereka bahwa Allah senantiasa bekerja dalam kerapuhan manusiawi mereka; pekerjaan Allah dapat terwujud dalam diri mereka yang lemah.
Rm. Eko dalam sharingnya memberikan cerita-cerita hidupnya tentang bagaimana ia memberikan diri yang ternyata tidak mudah. Ada usaha-usaha yang telah diperjuangkannya dengan semaksimal mungkin, tetapi ia tidak menikmati hasil yang diperoleh. Singkat kata, ia ingin menikmati jerih payahnya, namun ingat akan pemberian diri berarti menyerahkan segala sesuatu pada Tuhan sebagai Yang Memanggil.
Sama halnya dengan yang dibagikan oleh Rm. Dwi. Ia mengalami dinamika hidup panggilan yang tidak mudah. 25 tahun lalu, ketika ia mengirarkan kaul pertamanya, ia menegaskan: “jika Allah memilihku, mengapa aku harus takut? Pilihan Allah tidak pernah salah, hanya aku yang salah.” Refleksinya ini menandaskan bahwa kelemahan manusia itu memang ada, tetapi dengan pemberian diri kepada Tuhan, kelemahan itu menjadi kekuatan dalam menjalani hidup panggilan.
Dalam refleksinya mengenai kaul kebiaraan, Rm. Arko merasakan bahwa hasil usaha manusiawi yang telah dilakukannya tak ubahnya milik Allah melalui Kongregasi SCJ, tempat di mana ia hidup dan berkembang. Ia mengatakan gemati atau genggem ati yang ingin menandaskan bahwa hidup panggilan itu menjadikan setiap orang yang berproses di dalamnya menjadi pribadi yang perhatian dan memiliki hati bagi sesama.
Br. Dalijan juga mengalami pergolakan yang sama dalam menjalani hidup membiara. Melalalng buana ke sana ke mari menjadi bentuk ketaatannya pada kaul yang telah diucapkannya. Ia meringkaskan perjalanan panggilannya dengan ungkapan fedele anche se debole yang berarti setia kendati lemah. Ia mengisahkan bagaimana ia harus memaksa diri untuk berani belajar banyak hal baru. Dengan mengandalkan Tuhan, ia menemukan sukacita di tempat perutusannya yang seringkali memberikan tantangan yang tidak mudah untuk dijalani.
Tidak berbeda dengan yang dijalani Br. Dalijan, Br. Gatot juga mengandalkan Tuhan dalam hidupnya. Baginya, hidup doa adalah api yang menjadikan dia senantiasa setia dalam menjalani panggilan Tuhan. Dalam merefleksikan hidup panggilannya, ia merenungkan pertanyaan Yesus kepada Petrus, “apakah engkau mengasihi Aku?” Dengan pertanyaan itu, ia mengambil disposisi seorang murid yang senantiasa untuk mengikuti Guru dengan lebih dekat, meniru apa yang dilakukan Guru supaya hidupnya semakin beriman.
Dalam perjalanan hidup panggilan Br. Tri Anthara atau yang sering dipanggil Br. Badage juga mengalami banyak pergulatan. Lebih dari setengah periode hidup panggilannya diberikan pada karya pendidikan yang dipunyai SCJ yaitu YPKLD. Dari pengalaman menjadi pengurus bahkan menjadi koordinator berbagai program Yayasan, ia merasakan hidup panggilan yang dinamis. Ia menemukan dalam perjalanan panggilannya bahwa kematangan pribadi itu ditemukan dalam relasi yang intim dengan Tuhan melalui doa dan karya yang dijalankannya.
Dalam banyak sharing yang disampaikan oleh para romo dan para bruder, yang paling penting adalah bagaimana mengusahakan hidup spiritual yang dibangun dengan hidup doa yang konsisten. Inilah yang terpenting dan yang terutama. Pater Dehon mengungkapkan cara hidup seorang SCJ dengan ungkapan vita amoris et immolationis, hidup dalam kasih dan pengurbanan. Inilah ciri khas SCJ di mana para anggotanya memberikan diri untuk pemulihan dengan cara melaksanakan hidup sesuai dengan nasihat injil.
Mereka menyadari bahwa harapan dan tuntutan dari banyak pihak terhadap para calon imam dan religius seringkali sulit dibendung. Maka mereka mengajak para konfrater muda untuk menyadari bahwa harapan dan tuntutan itu adalah suatu arah, suatu jalan yang diharapkan banyak orang untuk dihidupi dan dibagikan kepada banyak orang.
Nubuat akan berakhir, pengetahuan akan lenyap. Kasih tidak berkesudahan (1 Kor. 13).
(by Tim Skolastikat SCJ)
Leave a Reply