Hidup adalah perjalanan panjang menuju Allah. Dan jalan panjang itu dilewati dengan berbagai macam cara. Ada orang-orang yang tampaknya dengan sangat mudah melwati jalan tersebut seperti melewati jalan penuh bunga. Namun ada kalanya orang harus melewati jalan yang terjal berbatu atau jalan berlumpur yang membuatnya harus berjuang dengan susah payah untuk dapat melewatinya. Saya yakin jalan hidup Br. Yohanes Suprapto SCJ ini sebagian besar adalah jalan bahagia yang ia jalani dengan sukacita dan canda tawa. Saya mengenal bruder sebagai orang yang ramah, hangat, dan mudah tertawa, juga semangat dalam menjalankan tugas-tugasnya.
Namun demikian rasa-rasanya bruder harus mengalami jalan yang terjal, jalan yang berat dan tidak mudah, khususnya kurang lebih dua tahun terakhir ini; ketika sakit mulai mendera badannya; mulai dari sakit lutut, masalah dengan ginjalnya yang membuatnya harus cuci darah, dan penyakin lainnya. Jalan yang dia lewati tak ubahnya seperti jalan menuju Golgota, seperti jalan salib yang dilewati Yesus sebelum akhir hidup-Nya. Dan selama dua tahun terakhir ini bruder sungguh berjuang. Ia bergumul dengan dirinya sendiri. Ia bergulat dengan Allah seperti Yakup yang bergulat dengan Allah.
Pasti bruder mengalami pergulatan yang tidak mudah, apa lagi pergulatan itu tidak hanya semalam saja tapi bermalam-malam. Dalam arti tertentu bruder seperti Ayup yang bergumul dengan Allah akibat dari pengalaman pahit yang menerpa hidupnya. Sebagai orang beriman pastilah bruder berusaha untuk berdiri tegak dan dengan gagah berusaha untuk melewati pergumulan ini. Di lain pihak sebagai manusia biasa ia juga merasakan keterbatasan dirinya. Maka tak mengherankan kalau ia sering berteriak dengan keras, bahkan tampak marah, walau kadang juga tampak sedih, murung, dan diam seribu kata sehingga membuat kita semua yang mendampingi juga tidak tahu harus berbuat apa. Saya percaya bahwa itu semua bagian dari pergumulannya, bagian dari pergulatan dengan dirinya sendiri dan dengan Allah.
Rupa-rupanya bruder tidak ingin bergulat sendirian. Ia mengundang kita semua untuk bergulat dengannya. Banyak konfrater dan juga orang-orang lain yang menjaga dan merawat bruder merasakan pergulatan itu sehingga tak jarang kita juga merasa lelah, sedih, marah, takut, frustasi, bingung ketika menghadapi bruder. Iman kita pun tertantang. Kasih dan kerelaan kita tertantang. Ternyata pergumulan bruder membuat kita juga harus bergumul dengan diri sendiri.
Beberapa waktu yang lalu saya mengunjungi bruder dan saya melihat ada perubahan yang menarik. Bruder tampak lebih tenang walau badannya tampak kurus tapi wajahnya lebih bersinar. Dia juga berbicara dan menanggapi cerita saya, juga tanya tentang buah-buahan di provinsialat. Dia juga minta empek-empek tetapi memintanya dengan cara yang berbeda dengan cara sewaktu ia minta roti dan teh manis beberapa hari sebelum saya berangkat ke Roma awal November. Ia meminta dengan nada yang lembut.
Pergumulan bruder tampaknya semakin mereda. Saya kurang tahu persis apa bruder menyerah kalah di hadapan Allah atau ia justru merasa menang dalam pergumulan itu dan siap bertemu dengan Allah. Yang jelas beberapa waktu kemudian ia mengundang Rm. Kelik untuk berbicara dari hati ke hati dan juga untuk pengakuan dosa. Dalam perbincangan itu ia mengungkapkan keinginannya untuk berpuasa dan juga meminta supaya rm. Kelik juga berpuasa. Kita semua tahu bruder itu orang Jawa asli dan bagi orang Jawa puasa mempunyai nilai spiritual yang tinggi karena menjadi sarana untuk penataan diri, pembersihan diri, dan sarana untuk bertemu dengan yang Illahi.
Bruder mengajari kita semua untuk tetap setia dalam pergumulan hidup walau berat dan tidak mudah, untuk menang dalam pergulatan seperti Yakup yang tampil sebagai pemenang.
Foto-foto hari kedua bisa di lihat di sini
Leave a Reply