Ikut Tuhan, Jalanku jadi ‘Bubrah’ – Sharing dari Fr. M. Patrik BHK
Ikut Tuhan memang penuh dengan kejutan-kejutan dan misteri yang tak terselami sepenuhnya. Sampai dengan dua puluh lima tahun hidup membiara ini, aku merasakan betapa ‘ikut Tuhan, jalanku jadi ‘bubrah’. Yang aku maksudkan, semakin menapaki dan mengikuti jejak-Nya, ternyata semakin dalam pula ‘jalan-jalanku’ bubrah (hancur/kacau). Jalan yang kacau itu tidak lain jalan-jalan yang sudah kurancang, kurencanakan menurut perhitungan dan keinginan (ego) semakin tak terlaksana. Benarlah nas kitab suci,”rancangan-Ku, bukanlah rancanganmu, jalan-Ku bukanlah jalanmu” (Yes 55:8). Masih ingat betul diingatanku, kala itu betapa ‘virus sapaan-Nya’ yang halus menyapaku menggetarkan dan menggelisahkan hatiku. Seolah menggoda terus agar hati ini menanggapi dan ‘mengabaikan’ suara lain. Gara-gara getaran hati untuk menanggapi-Nya, aku membuat rencana orang tua; harapannya seperti diaduk-aduk dan merasakan ‘kegelisahan orang yang disapa-Nya’
Pengalaman panggilan Maria sangat terasa betul, disandingkan dengan panggilanku dan orang tua. Maria menerima panggilan untuk menjadi Ibu Yesus, mengandung dari Roh kudus membuat Yosep, kalang kabut; dan karena ketulusannya dan kedalaman batinnya menerima kehendakNya. Ibuku, terlebih khusus, amat bergulat mendalam, mungkin sampai seluruh isi hatinya diaduk-aduk; pikiran, perasaan, harapan-harapannya. Karena satu persatu anaknya, di’panggil Tuhan; diambil oleh Tuhan untuk menjadi ‘pekerja’Nya. Saya di menjadi ‘Frater BHK”. Adik saya menjadi “Imam SCJ” dan kakak saya menjadi “Suster Abdi Roh Kudus (SSpS)”.
Ibuk yang sampai-sampai menyalahkan Tuhan, marah dengan Tuhan karena ‘tidak diberikan sisa’ sama sekali. Engkau yang telah memberi semua, mengapa Engkau pula yang mengambil semuanya. Ibuk sampai menangis; menyatakan apakah dirinya salah berdoa?. Ibuk sampai-sampai 3 bulan semenjak kepergian kakak menjadi suster SSpS (terakhir), tidak lagi mau berdoa, tanda salib pun tidak. Aku merasa Ibu mengalami “ikut Tuhan, jalanku jadi ‘bubrah’”. Yang bubrah adalah rencana, rancangan dan harapan-harapan (ada ego, manusiawi juga).
Fase rohani adalah saat ibuk ‘menyerah’, pasrah sebagian dari sikap imannya. “Nderek miturut marang Gusti Yesus kudu pasrah”, (red. Mengikuti kehendak Tuhan Yesus memang harus pasrah) beliau pasrah dan melepasbebaskan hatinya atas putra-putrinya untuk Tuhan. Ibarat menggenggap, semakin menggenggam semakin sakit, tidak bebas; sudah saatnya melepas genggapan agar Tuhan sendiri berkehendak. “Aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataanMu itu” (Bdk Luk 1:38). Untuk sampai pada titik ini, ternyata pergulatan awal amat menguras perasaan, emosi, dan membuka hati untuk kehendakNya.
Panggilan hidup membiara adalah jalan untuk mencintaiNya secara lebih dekat. Oleh karenanya, “Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintahKu” (Yoh 14:15). Ibu telah menorehkan bagaimana mencintai Dia secara lebih dekat, mendalam bahkan sampai hatinya diubah oleh Hati-Nya. Maka tidak mengherankan bahwa aku ikut Dia, maka semakin ‘bubrah’ jalan-jalanku, rancangan-rancanganku selama ini. Panggilan pertama-tama bukan soal diriku, melainkan Dia (yang memanggilku).
Aku yakin bahwa panggilanku berakar dari keluarga, terlebih khusus ‘ibuk’ yang mengajari bagaimana mencintai Allah dan sesama secara lebih total. Dan inilah ternyata yang diyakini sebagai ‘jalan yang membahagiakan’. Dari pergulatan imannya itulah aku memberanikan diri menjadi ‘Saudara bagi yang lain dan menjadi saksi persaudaraan cinta kasih Bunda Hati Kudus dengan menjadi Frater BHK. Adikku memberikan diri dan hidupnya menjadi iman yang dikobarkan oleh cinta Hati Kudus untuk mewartakan cinta kasihNya, dalam Kongregasi SCJ. Akhirnya, kakakku yang terdorong menjadi saksi dan misionarisNya, mewartakan Allah Tritunggal dalam ikatanNya yang sempurna, melalui Tarekat SSPS. Jalan-jalanku, rancangan-rancanganku ‘bubrah’ (kacau/hancur) karena mencintai-Nya. Yang ada hanyalah hidup yang berorientasi pada kehendak-Nya, jalan-jalan yang telah ditunjukkanNya, serta ambil bagian dalam keprihatin-Nya.
Menjadi Saudara dan Saksi Persaudaraan
Tak terpikirkan sejak semula bahwa aku menjalani panggilan sebagai “frater”. Panggilan sebagai ‘frater’ pun mungkin sampai hari ini banyak yang belum mengerti secara mendalam, bahkan kedua orang tua pun meski Katolik belum juga mengerti. Yang umumnya mereka pahami “ya pokoknya tidak jadi imam, beda. Mereka itu kerjanya seperti kita awam biasa tapi tidak menikah. Hidup dibaktikan untuk pelayanan”. Kongregasi Frater-frater Bunda Hati Kudus, itulah kongregasi yang aku masuki, atau kerap disebut dengan sebutan “frater kekal” karena frater terus, kekal tak ditahbiskan. Juga “frater guru” karena anggotanya berkarya khusus menjadi guru, bekerja di lingkungan pendidikan persekolahan dan pendampingan kaum muda. Kongregasi Frater BHK didirikan 13 Agustus 1873 di Utrecht Belanda oleh Mgr. Andreas Ignatius Schaepman.
Frater BHK berkarya di Belanda, Afrika dan Indonesia. Di Indonesia sendiri Frater BHK hadir di keuskupan Malang, Palembang, Surabaya, Maumere, Larantuka, Ende, Kupang, Tanjung Selor. Frater-frater BHK merupakan kongregasi laikal (tak tertahbis), yang pada hakikatnya adalah menjadi tanda kesaksian akan Gereja sebagai persekutuan, Setiap frater diutus mewartakan anugerah misteri persaudaraan dalam Kristus; yang adalah Jalan, Kebenaran dan Kehidupan seturut teladan Maria Bunda Hati Kudus dan St. Vinsensius a Paulo. Jalan keutamaan yang ditempuh adalah: cinta kasih, ketaatan, kesederhanaan, ingkar diri, ugahari, suka bekerja dan percaya akan penyelenggaraan Ilahi. “Dalam kepedulian dan kesederhanaan, dikasihilah Hati Kudus Yesus di Seluruh Dunia.” (In Sollicitudine et Simplicitate, Ametur Ubique Terrarum Cor Jesu Sacratissimum).
Berkah Dalem.
Fr. M. Patrik Totok Mardianto, BHK
Leave a Reply